Thursday, June 2, 2016

REVOLUSI MENTAL DAN BONUS DEMOGRAFI

Oleh   : Muthiatun Nuriah (Kasubbid Pemanfaatan Puslitbang Kependudukan BKKBN)
Tahun : 2016


9.1.  Latar Belakang

Telah diketahui bersama bahwa keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat bergantung dengan kualitas SDM-nya. Hal yang sama juga terjadi untuk Indonesia, agar supaya Indonesia menjadi negara yang mencapai keberhasilan dalam pembangunan maka program-program yang mengarah pada pembangunan SDM yang berkualitas baik secara fisik, mental, kompetensi dan karakter harus menjadi prioritas. 

Kualitas SDM sebagai penggerak pembangunan di Indonesia ditentukan oleh 2 hal, yaitu penguasaan dalam kompetensi bidang ilmu (hard skills) dan karakter (soft skills).  Kompetensi hard skills adalah kemampuan berupa keterampilan atau keahlian seseorang dalam menguasai suatu bidang ilmu atau kemampuan teknis dalam suatu bidang keterampilan tertentu yang dicapai dengan melalui proses jenjang pendidikan atau pelatihan keterampilan.  Sementara karakter (soft skills) adalah  keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter-personal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skills) sehingga mampu mengembangkan diri secara maksimal yang diwujudkan dalam kinerja (performance) (Sinarwati, 2013).

Penelitian  mengenai pentingnya soft  skills   telah  banyak  dilakukan. Mitsubishi  Research Institute   (dalam   Endrotomo,   2010)   menyatakan   faktor   yang   memberi   kontribusi keberhasilan  dalam  dunia  kerja  adalah  fiansial  10%,  keahlian  bidangnya  20%,  net working  30%   dan soft   skills    40%.   Sejalan dengan itu,   hasil   penelitian   NACE   (National Asssociation  of  Colleges  and  Employers)  pada  tahun  2005 bahkan menyebutkan bahwa bahwa secara umum pengguna  tenaga  kerja  merekrut pekerja yang memiliki kemampuan soft  skills sebesar 80 persen sedangkan hard skills cukup  20 persen saja (Sailah, 2008).  Fakta ini menunjukkan bahwa soft skills merupakan kemampuan yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan SDM. Kemampuan soft skills antara lain terdiri dari kejujuran, tanggung jawab, berlaku adil, kemampuan bekerja sama, kemampuan beradaptasi, kemampuan berkomunikasi, toleran, hormat terhadap sesama, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan memecahkan masalah, dsb (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Begitu pentingnya soft skills bagi pekerja Indonesia, namun tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Sailah (2008) menyebutkan bahwa rasio kebutuhan soft skills dan hard skills di dunia kerja/usaha berbanding terbalik  dengan pengembangannya di perguruan tinggi atau di dunia pendidikan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan untuk mencapai kesuksesan seseorang  di lapangan kerja 80% ditentukan oleh mind set/soft skills yang dimilikinya dan 20% ditentukan oleh technical skills.  Namun, sistem pendidikan kita saat ini, soft skills hanya diberikan rata-rata 10% saja dalam kurikulumnya, sebagian besar menekankan pada hard skills.  Pendapat yang tidak berbeda disampaikan oleh Triatmanto (2010) yang menyatakan bahwa baik sekolah ataupun masyarakat saat ini memiliki kecenderungan sekedar memacu peserta didik untuk memiliki kemampuan akademik tinggi tanpa memperhatikan pembentukan karakter yang kuat.

Bukti dari kurangnya penekanan tentang pembentukan karakter (soft skills) di Indonesia tampak dengan adanya beberapa perilaku negatif yang membudaya seperti adanya perilaku “jam karet” yang merupakan perilaku tidak disiplin tepat waktu, perilaku tidak mentaati lalu lintas, perilaku membuang sampah sembarangan, tidak tertib dalam antrian, tidak menghargai orang lain hingga masalah korupsi yang merajalela disegala lapisan masyarakat. Kelompok Kerja Revolusi Mental seperti dituliskan dalam situs www.revolusimental.go.id telah melakukan sebuah Focused Groups Discussion (FGD) di Jakarta, Aceh dan Papua yang dilakukan oleh yang melibatkan 300 orang budayawan, seniman, perempuan, netizen, kaum muda,  pengusaha, birokrat, tokoh agama/adat, akademisi dan LSM. Hasil dari FGD tersebut menyebutkan bahwa adanya kegelisahan masyarakan Indonesia sendiri melihat perilaku, sikap serta mentalitas yang ditunjukkan dengan kebiasaan saling serobot di jalan raya, tidak mau antre, kurang penghargaan terhadap orang lain. Tim tersebut merekomendasikan Indonesia membutuhkan sesuatu yang dapat mengubah mentalitas secara revolusioner karena saat ini sudah menggejala adanya krisis nilai dan karakter, juga krisis pemerintahan dimana pemerintah tidak hadir di masyarakat yang merupakan objek dari pembangunan, serta adanya krisis relasi sosial yaitu adanya gejala intoleransi.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengusung sebuah gerakan Revolusi Mental yang bertujuan membangun karakter bangsa Indonesia. Revolusi Mental merupakan gerakan sosial yang harus didukung oleh seluruh elemen bangsa, yaitu masyarakat, swasta, akademisi, dan pemerintah. Gerakan ini dengan konsisten dilaksanakan dari level yang paling atas ke level masyarakat yang paling bawah dengan tujuan agar bangsa Indonesia dapat dengan percaya diri berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain melalui pembangunan karakter dan mental. Nilai-nilai strategis yang diusung oleh revolusi mental adalah integritas, etos kerja, dan gotong royong. Ketiga nilai ini diharapkan mampu untuk menjadikan masyarakat Indonesia menjadi pendongkrak kemampuan soft skills pekerja Indonesia untuk meraih kesuksesan. Pembangunan karakter melalui Revolusi Mental merupakan hal yang essensial bagi Indonesia mengingat saat ini Indonesia sedang mengalami periode bonus demografi yang berarti proporsi penduduk usia produktifnya lebih besar dari penduduk usia non produktif.  

9.2. Pengertian Revolusi Mental

Revolusi Mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik.  Gerakkan ini dicanangkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Revolusi Mental juga memiliki nilai-nilai strategis yang antara lain terdiri dari :

a.       Integritas memiliki sub nilai kewargaan dan dapat dipercaya.
b.      Etos kerja memiliki sub nilai professional, mandiri dan kreatif.
c.       Gotong royong memiliki sub nilai saling menghargai dan gotong-royong.

Selain itu, Revolusi Mental memiliki delapan prinsip dasar yaitu :

1.        Revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik.
2.        Harus didukung oleh tekad politik (political will) Pemerintah
3.        Harus bersifat lintas sektoral.
4.        Kolaborasi masyarakat, sektor privat, akademisi dan pemerintah.
5.        Dilakukan dengan program “gempuran nilai” (value attack) untuk senantiasa mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai strategis dalam setiap ruang publik.
6.        Desain program harus mudah dilaksanakan (user friendly), menyenangkan (popular) bagi seluruh segmen masyarakat.
7.        Nilai-nilai yang dikembangkan terutama ditujukan untuk mengatur moralitas publik (sosial) bukan moralitas privat (individual).
8.        Dapat diukur dampaknya dan dirasakan manfaatnya oleh warga masyarakat.

9.3.  Penerapan Nilai-nilai strategis Revolusi Mental dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia

Integritas

Secara sederhana, dapat dikatakan seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan yang berlandaskan pada kejujuran dan  kebenaran. Integritas  bangsa berarti wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara. Integritas bangsa antara lain dapat ditunjukkan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks Persepsi Korupsi adalah indikator praktik korupsi di suatu negara yang menggambarkan persepsi dari para pebisnis dan pakar terhadap korupsi di sektor publik. IPK diukur setiap tahun oleh Transparency International, sebuah organisasi non pemerintah internasional.

IPK tahun 2014 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100. Pada tahun 2015, skor Indonesia naik 2 poin menjadi 36 poin dan berada pada peringkat 88 dunia. Posisi Indonesia masih jauh di bawah skor rata-rata negara Asia Pasifik (43). Kenaikan ini menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah menunjukkan hasil yang positif namun perlu ditingkatkan (Transparancy International Indonesia/TII, 2015). Pemerintah menargetkan IPK 50 pada tahun 2019. Tingginya korupsi di Indonesia menyebabkan pemanfaatan dana/anggaran tidak optimal dan mempengaruhi pencapaian sasaran pembangunan ekonomi.  Akibat dari korupsi, anggaran yang seharusnya dapat dialihkan untuk hal-hal yang produktif seperti penciptaan lapangan pekerjaan dapat hilang begitu saja, sehingga implikasinya adalah tingginya angka pengangguran. Penduduk yang seharusnya bisa terserap ke dalam pasar tenaga kerja menjadi tidak produktif sehingga keuntungan ekonomi yang seharusnya didapatkan pada bonus demografi menjadi hilang akibat dari korupsi.

Uraian diatas menerangkan tentang pentingnya penerapan nilai integritas dari Revolusi Mental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Integritas harus dijadikan sebagai nilai diri seseorang. Internalisasi nilai integritas akan membuahkan sikap yang bertanggung jawab dan keinginan melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan sebaik mungkin. Integritas juga akan menghindarkan seseorang dari sikap ingin mendapatkan seseuatu melalui jalan pintas dan menghalalkan berbagai cara termasuk dengan melakukan suap atau korupsi.  Kesadaran bahwa korupsi memiliki dampak buruk yang besar bagi tata kehidupan dan kesejahteraan bersama maka sikap integritas harus menjadi salah satu ciri atau karakter bangsa Indonesia.

Etos kerja
Jansen  Sinamo  (2005) merumuskan etos  kerja  sebagai  seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental disertai dengan komitmen yang total  pada  paradigma  kerja  yang  integral.  Jadi jika  suatu  komunitas, suatu organisasi,  atau seseorang,      menganut  paradigma  kerja,  mempercayai,  dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku  kerja  mereka  yang  khas.  Itulah  yang  akan  menjadi  etos  kerja  dan budaya kerja.  Sinamo  (2005)  berpendapat  bahwa  etos  kerja  merupakan  fondasi  dari sukses yang sejati dan otentik.

Gambar 9.1. Nilai, Sub Nilai dan Contoh Perilaku
                                   Sumber : www.revolusimental.go.id

Etos kerja yang baik dapat meningkatkan produktivitas. Etos kerja dapat diartikan sebagai obsesi yang berkehendak atau berkemauan yang disertai dengan semangat tinggi dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Krisnamurti, 2012). Krisnamurti menambahkan bahwa etos kerja yang baik akan menimbulkan rasa optimis pada diri individu atau pegawai dalam menjalankan setiap tugasnya guna mencapai tujuan yang diharapkan. Sikap optimis yang tercipta karena memiliki etos kerja yang baik akan mengurangi rasa mudah putus asa dalam menghadapi tantangan kerja dan akan selalu mengeluarkan kemampuan terbaik di dalam bekerja sehingga produktivitas pegawai dalam suatu instansi tersebut akan meningkat terlihat dari hasil pekerjaan yang terselesaikan. Uraian ini menunjukkan bahwa etos kerja  suatu negara dapat diukur dengan produktivitas angkatan kerjanya.

Data menunjukkan jumlah SDM Indonesia yang besar belum diikuti dengan tingginya produktivitas di Indonesia. Tingkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia pada 2015 masih lebih rendah dari rata-rata negara di Asia, meskipun telah menunjukkan peningkatan pada periode 2009-2014. Untuk kawasan ASEAN, Singapura memiliki tingkat produktivitas tertinggi di dunia pada tahun 2015, yaitu sekitar 121,9 dolar AS, sementara Indonesia hanya sekitar 21,9 dolar AS. Posisi Indonesia pada tahun 2015 masih berada di bawah Malaysia dan Thailand bahkan Sri Lanka (Republika.co.id, 2015a).
Salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah rendahnya tingkat pendidikan. Hampir 47% penduduk usia produktif di Indonesia hanya memiliki pendidikan tamat SD (Susenas, 2013). Ini membuat tenaga kerja Indonesia tak mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara tetangga.  Ini merupakan kondisi yang kurang menguntungkan mengingat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah diberlakukan sejak awal tahun 2015.
Sektor industri di dalam negeri seharusnya dapat menyerap tenaga kerja yang sangat besar, namun menurut data Sakernas tahun 2014 sektor industri hanya mampu menyerap 13,3 persen pekerja (BPS, 2015). Selain itu, saat ini 75 persen industri berada di Jawa, 17 persen di Sumatra, dan sisanya tersebar di wilayah lainnya (Republika.co.id, 2015b). Pada  Agustus  2015,  jumlah  penganggur  sebesar  7,56  juta  orang  dan  Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 6,18 persen (BPS, 2016). Salah satu alternative cara untuk mengatasi angka pengangguran yang cukup tinggi tersebut adalah dengan menumbuhkan wirausaha, tetapi menyiapkan atau mencetak wirausaha bukan hal mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan. Untuk membangun karakter/mental kewirausahaan perlu dukungan keluarga, lingkungan kondusif serta peran pemerintah. 
Saat ini jumlah pelaku wirausaha di Indonesia relatif rendah. Pelaku wiarausaha hanya sekitar 1,65% dari total penduduk. Angka tersebut jauh dari Singapura yang mencapai 7% maupun Malaysia (5%) dan Thailand (3%). Seorang ahli sosiologi David McClelland menyatakan bahwa untuk menjadi negara yang sejahtera, suatu negara harus memiliki wirausahawan minimal 2%  dari total jumlah penduduk (dalam Putra dkk, 2015). Jumlah tenaga kerja yang melimpah tak akan berkontribusi terhadap bonus demografi jika mereka tidak dididik untuk jadi cerdas, berdaya guna, dan kreatif. Revolusi Mental diperlukan untuk mencetak wirausaha, karena wirausaha berkaitan dengan pola pikir, sifat inovatif, pantang menyerah, dan mental yang tangguh seseorang.

Gotong royong

Gotong royong bukanlah sebuah kata yang asing untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia secara kultural sangat akrab dengan kata gotong royong, bahkan gotong royong dapat dikatakan sebagai salah satu ciri kharakter dari bangsa Indonesia. Gotong royong  berasal dari Bahasa Jawa, gotong artinya pikul atau angkat, dan royong artinya bersama-sama. Jadi kata gotong royong berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau dapat dimaknai sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Misalnya: mengangkat meja yang dilakukan bersama-sama, membersihkan selokan yang dilakukan oleh warga se RT, dan sebagainya (Rochmadi, 2012). Gotong  royong membuat pekerjaan menjadi lebih mudah dan cepat untuk diselesaikan, menimbulkan rasa kebersamaan dan rasa kepemilikan bersama yang ditimbulkan akibat adanya pengalaman pernah berkontribusi bagi suatu kegiatan.

Pada tataran konseptual, gotong royong dapat berarti sebagai suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Koentjaraningrat (1983) dalam Rochmadi (2012) membedakan gotong royong menjadi dua jenis  yaitu; gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti.  Kegiatan gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian. Sementara kegiatan  gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, yang dibedakan antara gotong royong atas inisiatif warga dengan gotong royong yang dipaksakan. Konsep gotong royong juga dapat dimaknai dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pranadji, 2009), karena bisa menjadi modal sosial untuk membentuk kekuatan kelembagaan di tingkat komunitas, masyarakat negara serta masyarakat lintas bangsa dan negara Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan. Hal tersebut juga dikarenakan di dalam gotong royong terkandung makna collective action to struggle, self governing, common goal, dan sovereignty.

Seiring dengan perkembangan  zaman  yang  menjadi semakin modern dan semakin meluasnya urbanisasi, mengakibatkan perubahan  sosial  masyarakat  Indonesia.  Kini,  gotong royong warga  ini  sudah  mulai  sulit  dijumpai  kembali dalam  kehidupan  sehari-hari. Akibat dari tingkat kesibukan pekerjaan dan juga tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, nilai gotong royong memudar dengan mempertimbangkan untung ruginya dengan memperhitungkan upah dan materi. Diperkotaan misalnya kehadiran seseorang untuk ikut ronda malam atau kerja bakti dapat digantikan dengan membayarkan sejumlah uang yang diberikan kepada orang yang menggantikannya.  Hal ini terjadi terus menerus sehingga pada akhirnya terbentuk suatu lahan pekerjaan baru yaitu satuan keamanan atau kebersihan yang pada akhirnya memudarkan nilai gotong royong itu sendiri.

Fungsi dari gotong royong tidak sekedar berbagi pekerjaan yang dapat digantikan oleh materi atau uang. Gotong royong mencerminkan suatu kebersamaan merupakan suatu acuan untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari konflik dan juga memiliki aspek pemberdayaan masyarakat. Gotong royong memiliki nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerjasama dan persatuan warga. Semakin lunturnya keberadaan gotong royong tentunya akan dapat memicu terjadinya perselisihan yang dapat berujung pada konflik karena berkurangnya nilai kebersamaan. Sehingga sangatlah penting untuk menjaga gotong royong di tengah masyarakat, terutama didalam masyarakat yang memiliki perbedaan.  Sementara itu gotong royong dalam  aspek pemberdayaan masyarakat diungkapkan oleh Rochmadi (2012). Rochmadi menjelaskan bahwa dengan gotong royong berbagai permasalahan kehidupan bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah, demikian halnya dengan kegiatan pembangunan masyarakat. Implementasi gotong royong memberdayakan masyarakan karena memiliki nilai kehidupan masyarakat yang menerapkan kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian, dan mengacu kepada kepentingan bersama.

Ditengah nilai gotong royong yang semakin memudar disisi lain jumlah penduduk produktif yang besar namun tidak maksimal terserap ke pasar kerja ditambah dengan tekanan ekonomi yang semakin tinggi merupakan suatu kondisi lampu kuning yang bisa menjadi pemicu munculnya krisis ekonomi, krisis politik dan krisis keamanan. Salah satu indikator yang dapat menjadi acuan kondisi kesenjangan adalah Rasio Gini. Rasio Gini seperti yang ditampilkan pada Gambar 9.2 menunjukkan tren yang terus meningkat, ini menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan pendapatan yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Kesenjangan merupakan suatu indikator yang ingin ditekan angkanya karena kesenjangan yang tinggi dapat menyebabkan kondisi sosial yang tidak kondusif karena dapat menimbulkan berbagai krisis di masyarakat, seperti krisis ekonomi, krisis keamanan dan juga krisis politik. Kondisi tren Rasio Gini yang terus meningkat memerlukan suatu langkah-langkah strategis pemerintah untuk meredamnya baik dari sisi penguatan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, maupun dari sisi pemberdayaan masyarakat dengan menggali nilai-nilai luhur yang ada dimasyarakat untuk dihidupkan kembali agar dampak-dampak negative dari kondisi yang muncul dapat dihindari.

Gambar 9.2.  Tren Rasio Gini Indonesia tahun 1980-2013

                                Sumber : World Bank, 2014

Gotong royong merupakan salah satu nilai luhur karakter bangsa yang harus kembali dihidupkan mengingat kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini. Karena itu, mengembalikan nilai gotong royong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi solusi yang harus kita lakukan saat ini. Gotong royong bukan sekedar membagi pekerjaan menjadi lebih mudah, tetapi mengandung makna saling menghargai, menyayangi, mengedepankan diskusi untuk mendapatkan solusi dan menurunkan ego individu. Gotong royong harus diterapkan dalam arti yang lebih luas mencakup sosiologis, politis, sikap etis masyarakat maupun aspek ideologis bangsa.

Menghidupkan gotong royong bisa jadi bukanlah pekerjaan yang mudah karena pasti akan menghadapi kendala-kendala yang menghalangi penerapannya. Sulitnya koordinasi antar instansi pemerintah, mudahnya perpecahan politik, tindakan anarkis dan memaksakan kehendak merupakan suatu sikap yang harus dirubah secara cepat atau direvolusi.  Untuk menerapkan gotong royong diperlukan kedewasaan sikap, mempelajari akar masalah bersama dan berfikiran solutif  bukan sekedar mencari siapa yang salah. Perlunya komunikasi dan edukasi tentang sikap gotong royong harus dilakukan secara intensif agar setiap komponen dalam masyarakat senantiasa bersedia berpartisipatif secara aktif turut serta dalam setiap kegiatan gotong royong.

9.4.  Revolusi Mental, Peran BKKBN dan Pemanfaatan Bonus Demografi

Peran BKKBN dalam peningkatan SDM adalah melalui Program KKBPK yang senantiasa diarahkan untuk mewujudkan Nawa Cita.  Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty dalam pidato sambutan tentang peningkatan Kapasitas SDM Pengurus Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) di Medan 18 Januari 2016 menyebutkan bahwa:
BKKBN memiliki kontribusi dalam progam Nawa Cita terutama agenda prioritas ketiga, prioritas kelima dan kedelapan. Agenda prioritas ketiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa-desa dalam kerangka negara kesatuan; agenda prioritas kelima, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; serta agenda prioritas kedelapan, yaitu melakukan revolusi karakter bangsa. Revolusi karakter bangsa tidak akan berjalan optimal tanpa diawali dengan revolusi mental. Sekaitan dengan itu, maka dimensi pembangunan manusia harus menjadi fokus perhatian kita bersama. Di sinilah Program KKBPK memiliki peran yang amat strategis. Bekerja sama dengan seluruh mitra kerjanya, BKKBN memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan revolusi mental berbasis keluarga; mengawali revolusi mental dari keluarga.

Ini menunjukkan bahwa Revolusi Mental memiliki prioritas dalam rangka pembangunan karakter bangsa yang terkait dengan soft skill SDM Indonesia.  Hal ini menjadi penting karena kinerja atau produktifitas seseorang ternyata tidak hanya bergantung dari ketrampilan/keahlian dan kesehatan saja tetapi juga bergantung pada soft skill. Soft skill merupakan bagian penting dari kompetensi seseorang  untuk dapat “berhasil” dalam hidup seseorang, Illah (2007) memberikan ilustrasi, soft skill  yang kurang  ditandai dengan perilaku tidak tangguh, cepat bosan, bertabiat seperti kutu loncat, tidak dapat bekerja sama, kurang jujur, tidak memiliki integritas dan bahkan tidak memiliki rasa humor.   

Pencanangan Revolusi Mental merupakan hal yang essensial mengingat saat ini Indonesia sedang memiliki jumlah penduduk produktifitasnya melimpah. Mereka adalah tenaga kerja yang siap berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan keluarga dan menjalankan roda perekonomian negara ini.  Pembangunan manusia sayangnya masih diprioritaskan pada aspek akademik dan kesehatan, aspek peningkatan soft skill atau karakter belum menjadi prioritas. Penekanan terhadap tiga nilai-nilai strategis Revolusi Mental yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sehingga secara personal setiap individu pekerja Indonesia dapat berhasil mencapai kesuksesannya masing-masing dan juga secara nasional dapat memberikan kontribusi keuntungan ekonomi untuk negara dengan memiliki kualitas penduduk yang berkinerja dengan baik.  Terlebih lagi mulai tahun 2015 Indonesia memasuki periode Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini membuat kebutuhan kesiapan tenaga kerja Indonesia yang berkualitas baik karena nilai kompetitif  tenaga kerja akan dilihat berdasarkan pendidikan,  kesehatan, hard skill dan soft skill pekerja.  

9.5.  Kesimpulan dan Rekomendasi

Revolusi Mental memiliki peran penting terutama pada masa era bonus demografi dan juga MEA yang saat ini sedang dialami oleh Indonesia. Revolusi Mental memberikan penekanan tentang pentingnya pembangunan karakter nasional penduduk Indonesia agar bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pembangungan manusia tidak boleh hanya berfokus pada kesehatan, pendidikan tetapi juga pada pembangunan karakter bangsa. Revolusi Mental berkaitan erat dengan peningkatan soft skill pekerja Indonesia sehingga diharapkan gerakan ini dapat menunjang nilai kompetitif pekerja Indonesia dalam persaingan pada pasar tenaga kerja di MEA.  Revolusi Mental yang memiliki nilai-nilai strategis integritas, etos kerja dan gotong royong, ketiganya merupakan suatu simpul-simpul utama karakter karena didalamnya terkandung berbagai nilai positif dalam peningkatan soft skill SDM Indonesia. Suksesnya penerapan Revolusi Mental dapat menjadi kunci keberhasilan pemerintah dalam memaksimalkan pemanfaatan bonus demografi.

BKKBN melalui program KKBPK memiliki peran yang cukup strategis dalam ikut mensukseskan gerakan Revolusi Mental. Hal ini karena program-program BKKBN berkaitan erat dengan keluarga, sehingga gerakan Revolusi Mental dapat diinternalisasikan ke dalam nilai-nilai keluarga.  Selain BKKBN diperlukan peran lintas sektor untuk berkontribusi dalam penerapan gerakan Revolusi Mental sehingga nilai-nilai strategis dapat terinternalisasi kedalam seluruh aspek kehidupan setiap warga Indonesia.

Perlu dipahami bahwa pembangunan karakter mental bangsa tidak seperti pemberian materi pendidikan atau keterampilan tertentu yang hanya membutuhkan suatu waktu tertentu untuk menguasainya. Pembangunan karakter harus terus menerus terjadi, ditemui dan dirasakan oleh setiap individu bangsa pada setiap kesempatan secara konsisten. Ini membutuhkan keseriusan dan partisipasi semua pihak dari mulai orangtua, guru, penegak hukum, aparat pemerintah, swasta, tokoh masyarakat dan para pimpinan. 

Keteladanan merupakan bagian integral dari pendidikan karakter. Revolusi Mental memiliki nilai dan tujuan yang sangat mulia hendaknya juga harus memperhatikan unsur keteladanan. Keteladanan terutama harus ditampilkan oleh para pemimpin, karena jika pemimpin hanya menyarankan bawahannya melaksanakan Revolusi Mental sementara para pemimpin berlaku beda dari ucapannya maka ini akan membawa dampak yang tidak baik. Kewibawaan Revolusi Mental harus benar-benar dijaga terutama oleh para pemimpin bangsa, karena jika tidak ini hanya akan dianggap menjadi sebuah jargon politik yang akhirnya akan diabaikan oleh masyarakat.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2015a). Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2014*). Tabel data online. Dapat dilihat pada link berikut http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970
Badan Pusat Statistik. (2015b). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik 2016. Diunduh pada tautan http://bps.go.id/website/pdf_publikasi/Laporan-Bulanan-Data-Sosial-Ekonomi-Januari-2016.pdf
Departemen Pendidikan Nasional (2008). Pengembangan Soft Skills Dalam Proses Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Diakses dari http://www.ditpsmk.net/. Pengembangan Soft Skill dalam Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
Endrotomo. 2010. Implementasi Pembelajaran Student Center Learning. Makalah  disajikan dalam Seminar dalam rangka Implementasi PHK-I di STIE Triatma Mulya Badung, 28 Januari
Illah Sailah. 2008. Pengembangan Soft skills di Perguruan Tinggi tahun 2008. Diunduh di http://isailah.50webs.com/BUKU PENGEMBANGAN SOFTSKILLS 2008.pdf
Krisnamurti, Inggri. (2012). Pengaruh Etos Kerja terhadap Produktivitas Pegawai Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Indramayu.  Skripsi. Jurusan Manajemen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Widyatama. Bandung 2012.
Putra, B.A, Setiawan, I, & Dhaniarti,I.(2015). Based Course Design: Enterpreneurship-A Case Study of Its Application in Human Resource Planning and Development Course. Materi presentasi pada ASAIHL 60th Anniversary International Conference. 2-4 December 2015. Diunduh pada tautan http://asaihl.bbu.edu.kh/powerpoint/pdf/1.Bayu AirlanggaPutra&IkhsanSetiawan.pdf
Pranadji, Tri. 2009. “Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya Bangsa”. Bogor. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, IPB. Volume 27 No. 1, Juli 2009
Republika.co.id. (2015a). Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia Masih Kalah Dibanding Negara Lain. Artikel Online. Dapat dilihat pada tautan berikut  http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/25/nycpa5349-produktivitas-tenaga-kerja-indonesia-masih-kalah-dibanding-negara-lain
Republika.co.id. (2015b). Persebaran Industri di Indonesia. Artikel online. Dapat dilihat pada tautan berikut http://www.republika.co.id/berita/koran/financial/15/11/20/ny3yg72-persebaran-industri-di-indonesia
Rochmadi, N. (2012). Menjadikan Nilai Budaya Gotong-Royong  Sebagai Common Identity dalam Kehidupan Bertetangga  Negara-Negara ASEAN. Artikel dosen. Repository Perpustakaan Universitas Negeri Malang. 20/11/2012 .  Diunduh dari tautan http://library.um.ac.id/images/stories/artikel_dosen/menjadikan%20gotong%20royong%20sebagai%20common%20identity%20-%20nurhadi.pdf
Sinarwati, Ni Kadek. (2013). “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan Tri Kaya Parisudha Untuk Meningkatkan Soft Skills  Mahasiswa”. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi Vokasi ke-2 167. Politeknik Negeri Bali, 17 – 18 Mei 2013
Sinamo, Jansen.(2005). Delapan Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses. Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Surapaty, S. Chandra (2016).  Peningkatan Kapasitas SDM Pengurus Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) di Medan 18 Januari 2016. Pidato sambutan Kepala BKKBN.
Transparancy International Indonesia/TII.(2015). Corruption Perception Index 2015 “Perbaiki Penegakkan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan Publik. Materi Presentasi. Diunduh dari http://www.ti.or.id/index.php/publication/2015/09/15/survei-persepsi-korupsi-2015
Triatmanto. 2010. “Tantangan Impementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY: 187203
World Bank.(2014). Kesenjangan di Indonesia : Tren, Penyebab, Kebijakan. Materi Presentasi. September 2014. Diunduh pada tautan http://msc.feb.ugm.ac.id/msc-new/images/stories/berita/seminar%20kemiskinan/2.pdf