Tahun : 2016
9.1. Latar
Belakang
Telah
diketahui bersama bahwa keberhasilan
pembangunan di suatu negara
sangat bergantung dengan kualitas
SDM-nya. Hal yang sama juga terjadi untuk
Indonesia, agar supaya Indonesia menjadi negara yang mencapai keberhasilan
dalam pembangunan maka program-program yang mengarah pada pembangunan SDM yang
berkualitas baik secara fisik, mental, kompetensi dan karakter harus menjadi
prioritas.
Kualitas SDM sebagai penggerak
pembangunan di Indonesia ditentukan oleh 2 hal, yaitu penguasaan
dalam kompetensi
bidang ilmu (hard skills) dan
karakter (soft skills). Kompetensi hard skills adalah kemampuan berupa keterampilan atau keahlian
seseorang dalam menguasai suatu bidang ilmu atau kemampuan teknis dalam suatu
bidang keterampilan tertentu yang dicapai dengan melalui proses jenjang pendidikan
atau pelatihan keterampilan. Sementara
karakter (soft skills) adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain (inter-personal skills)
dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skills) sehingga mampu mengembangkan diri secara
maksimal yang diwujudkan dalam kinerja (performance)
(Sinarwati, 2013).
Penelitian mengenai pentingnya soft skills telah
banyak dilakukan. Mitsubishi Research Institute (dalam
Endrotomo, 2010) menyatakan
faktor yang memberi
kontribusi keberhasilan dalam dunia
kerja adalah fiansial
10%, keahlian bidangnya
20%, net working 30% dan soft skills 40%.
Sejalan dengan itu, hasil penelitian
NACE (National Asssociation of Colleges
and Employers) pada
tahun 2005 bahkan menyebutkan
bahwa bahwa secara umum pengguna
tenaga kerja merekrut pekerja yang memiliki kemampuan soft
skills sebesar 80 persen sedangkan hard skills cukup 20 persen saja
(Sailah, 2008). Fakta ini menunjukkan
bahwa soft skills merupakan kemampuan
yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan SDM. Kemampuan soft skills antara lain terdiri dari
kejujuran, tanggung jawab, berlaku adil, kemampuan bekerja sama, kemampuan
beradaptasi, kemampuan berkomunikasi, toleran, hormat terhadap sesama,
kemampuan mengambil keputusan, kemampuan memecahkan masalah, dsb (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).
Begitu pentingnya soft skills bagi pekerja Indonesia,
namun tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Sailah
(2008) menyebutkan bahwa rasio kebutuhan soft
skills dan hard skills di dunia
kerja/usaha berbanding terbalik dengan
pengembangannya di perguruan tinggi atau di dunia pendidikan di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan untuk mencapai kesuksesan seseorang di lapangan kerja 80% ditentukan oleh mind set/soft skills yang dimilikinya
dan 20% ditentukan oleh technical skills. Namun, sistem pendidikan kita saat ini, soft
skills hanya diberikan rata-rata 10% saja dalam kurikulumnya, sebagian besar
menekankan pada hard skills. Pendapat yang tidak berbeda disampaikan oleh
Triatmanto (2010) yang menyatakan bahwa baik sekolah ataupun masyarakat saat
ini memiliki kecenderungan sekedar memacu peserta didik untuk memiliki
kemampuan akademik tinggi tanpa memperhatikan pembentukan karakter yang kuat.
Bukti dari kurangnya penekanan
tentang pembentukan karakter (soft skills)
di Indonesia tampak dengan adanya beberapa perilaku negatif yang membudaya
seperti adanya perilaku “jam karet” yang merupakan perilaku tidak disiplin
tepat waktu, perilaku tidak mentaati lalu lintas, perilaku membuang sampah
sembarangan, tidak tertib dalam antrian, tidak menghargai orang lain hingga
masalah korupsi yang merajalela disegala lapisan masyarakat. Kelompok Kerja Revolusi Mental seperti dituliskan
dalam situs www.revolusimental.go.id telah melakukan sebuah Focused Groups Discussion (FGD) di Jakarta, Aceh dan Papua yang
dilakukan oleh yang melibatkan 300 orang budayawan, seniman, perempuan,
netizen, kaum muda, pengusaha, birokrat,
tokoh agama/adat, akademisi dan LSM. Hasil dari FGD tersebut menyebutkan bahwa adanya
kegelisahan masyarakan Indonesia sendiri melihat perilaku, sikap serta
mentalitas yang ditunjukkan dengan kebiasaan saling serobot di jalan raya,
tidak mau antre, kurang penghargaan terhadap orang lain. Tim tersebut
merekomendasikan Indonesia membutuhkan sesuatu yang dapat mengubah mentalitas
secara revolusioner karena saat ini sudah menggejala adanya krisis nilai dan
karakter, juga krisis pemerintahan dimana pemerintah tidak hadir di masyarakat
yang merupakan objek dari pembangunan, serta adanya krisis relasi sosial yaitu
adanya gejala intoleransi.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan Jusuf Kalla mengusung sebuah gerakan Revolusi Mental yang bertujuan membangun karakter bangsa Indonesia.
Revolusi Mental merupakan gerakan sosial yang harus didukung oleh seluruh
elemen bangsa, yaitu masyarakat, swasta, akademisi, dan pemerintah. Gerakan ini dengan konsisten dilaksanakan
dari level yang paling atas ke level masyarakat yang paling bawah dengan tujuan
agar bangsa Indonesia dapat dengan percaya diri berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lain melalui pembangunan karakter dan mental. Nilai-nilai strategis yang diusung oleh revolusi
mental adalah integritas, etos kerja, dan gotong royong. Ketiga nilai ini diharapkan mampu untuk
menjadikan masyarakat Indonesia menjadi pendongkrak kemampuan soft skills pekerja Indonesia untuk
meraih kesuksesan. Pembangunan karakter melalui Revolusi Mental merupakan hal
yang essensial bagi Indonesia
mengingat saat ini Indonesia sedang mengalami periode bonus demografi yang
berarti proporsi penduduk usia produktifnya lebih besar dari penduduk usia non
produktif.
9.2. Pengertian Revolusi Mental
Revolusi Mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah
untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik. Gerakkan ini dicanangkan oleh Pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Revolusi Mental juga memiliki
nilai-nilai strategis yang antara lain terdiri dari :
a.
Integritas
memiliki sub nilai kewargaan dan dapat dipercaya.
b.
Etos kerja
memiliki sub nilai professional, mandiri dan kreatif.
c.
Gotong royong
memiliki sub nilai saling menghargai dan gotong-royong.
Selain itu, Revolusi Mental memiliki delapan prinsip dasar yaitu :
1.
Revolusi Mental
adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik.
2.
Harus didukung
oleh tekad politik (political will)
Pemerintah
3.
Harus bersifat
lintas sektoral.
4.
Kolaborasi
masyarakat, sektor privat, akademisi dan pemerintah.
5.
Dilakukan dengan
program “gempuran nilai” (value attack)
untuk senantiasa mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai strategis dalam
setiap ruang publik.
6.
Desain program
harus mudah dilaksanakan (user friendly),
menyenangkan (popular) bagi seluruh
segmen masyarakat.
7.
Nilai-nilai yang
dikembangkan terutama ditujukan untuk mengatur moralitas publik (sosial) bukan
moralitas privat (individual).
8.
Dapat diukur
dampaknya dan dirasakan manfaatnya oleh warga masyarakat.
9.3. Penerapan Nilai-nilai
strategis Revolusi Mental dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia
Integritas
Secara sederhana, dapat dikatakan seorang
yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan yang berlandaskan
pada kejujuran dan kebenaran.
Integritas bangsa berarti wujud keutuhan prinsip moral dan
etika bangsa dalam kehidupan bernegara. Integritas bangsa antara lain dapat
ditunjukkan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks Persepsi Korupsi
adalah indikator praktik korupsi di suatu negara yang menggambarkan persepsi dari para pebisnis dan pakar terhadap
korupsi di sektor publik. IPK diukur setiap tahun oleh Transparency International, sebuah organisasi non pemerintah internasional.
IPK
tahun 2014
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia menempati
posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100. Pada tahun 2015,
skor Indonesia naik 2 poin menjadi
36 poin dan berada pada peringkat 88 dunia. Posisi Indonesia masih jauh di bawah skor rata-rata negara Asia Pasifik
(43). Kenaikan ini menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah
menunjukkan hasil yang positif namun perlu ditingkatkan (Transparancy
International Indonesia/TII, 2015). Pemerintah menargetkan
IPK 50 pada
tahun 2019. Tingginya korupsi di Indonesia menyebabkan pemanfaatan
dana/anggaran tidak optimal dan mempengaruhi pencapaian sasaran pembangunan
ekonomi. Akibat dari korupsi, anggaran yang
seharusnya dapat dialihkan untuk hal-hal yang produktif seperti penciptaan
lapangan pekerjaan dapat hilang begitu saja, sehingga implikasinya adalah
tingginya angka pengangguran. Penduduk yang seharusnya bisa terserap ke dalam
pasar tenaga kerja menjadi tidak produktif sehingga keuntungan ekonomi yang
seharusnya didapatkan pada bonus demografi menjadi hilang akibat dari korupsi.
Uraian
diatas menerangkan tentang pentingnya penerapan nilai integritas dari Revolusi
Mental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Integritas harus dijadikan
sebagai nilai diri seseorang. Internalisasi nilai integritas akan membuahkan
sikap yang bertanggung jawab dan keinginan melaksanakan tugas atau pekerjaan
dengan sebaik mungkin. Integritas juga akan menghindarkan seseorang dari sikap
ingin mendapatkan seseuatu melalui jalan pintas dan menghalalkan berbagai cara
termasuk dengan melakukan suap atau korupsi. Kesadaran bahwa korupsi memiliki dampak buruk
yang besar bagi tata kehidupan dan kesejahteraan bersama maka sikap integritas
harus menjadi salah satu ciri atau karakter bangsa Indonesia.
Etos kerja
Jansen
Sinamo (2005) merumuskan
etos kerja sebagai
seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental disertai
dengan komitmen yang total pada paradigma
kerja yang integral.
Jadi jika suatu komunitas, suatu organisasi, atau seseorang, menganut
paradigma kerja, mempercayai,
dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan
sikap dan perilaku kerja mereka
yang khas. Itulah
yang akan menjadi
etos kerja dan budaya kerja. Sinamo
(2005) berpendapat bahwa
etos kerja merupakan
fondasi dari sukses yang sejati dan otentik.
Gambar 9.1. Nilai, Sub Nilai dan Contoh
Perilaku
Etos
kerja yang baik dapat meningkatkan produktivitas. Etos kerja dapat diartikan
sebagai obsesi yang berkehendak atau berkemauan yang disertai dengan semangat
tinggi dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Krisnamurti, 2012). Krisnamurti menambahkan bahwa etos kerja yang baik akan menimbulkan rasa optimis pada diri individu
atau pegawai dalam menjalankan setiap tugasnya guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Sikap optimis yang tercipta karena memiliki etos kerja yang baik akan
mengurangi rasa mudah putus asa dalam menghadapi tantangan kerja dan akan
selalu mengeluarkan kemampuan terbaik di dalam bekerja sehingga produktivitas
pegawai dalam suatu instansi tersebut akan meningkat terlihat dari hasil
pekerjaan yang terselesaikan.
Uraian ini menunjukkan bahwa etos kerja suatu
negara dapat diukur dengan produktivitas angkatan kerjanya.
Data
menunjukkan jumlah SDM Indonesia yang besar belum diikuti
dengan tingginya produktivitas di Indonesia. Tingkat produktivitas
tenaga kerja di Indonesia pada 2015 masih lebih rendah dari rata-rata negara di Asia, meskipun telah menunjukkan peningkatan
pada periode 2009-2014.
Untuk kawasan ASEAN, Singapura memiliki tingkat
produktivitas tertinggi di dunia pada tahun 2015, yaitu sekitar 121,9 dolar AS,
sementara Indonesia hanya sekitar 21,9 dolar AS. Posisi Indonesia pada tahun 2015 masih berada di
bawah Malaysia dan Thailand bahkan Sri Lanka (Republika.co.id, 2015a).
Salah satu penyebab utama
rendahnya produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah rendahnya tingkat
pendidikan. Hampir 47% penduduk usia produktif di Indonesia hanya memiliki
pendidikan tamat SD (Susenas, 2013). Ini membuat tenaga kerja Indonesia tak
mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara tetangga. Ini merupakan kondisi yang kurang menguntungkan
mengingat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah diberlakukan sejak awal tahun 2015.
Sektor industri di dalam
negeri seharusnya dapat menyerap tenaga kerja yang
sangat besar, namun menurut data Sakernas tahun 2014 sektor industri hanya
mampu menyerap 13,3 persen pekerja (BPS, 2015). Selain itu, saat ini 75 persen industri berada
di Jawa, 17
persen di Sumatra, dan sisanya tersebar di wilayah lainnya
(Republika.co.id, 2015b). Pada Agustus
2015, jumlah penganggur
sebesar 7,56 juta
orang dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar
6,18 persen (BPS, 2016). Salah satu alternative cara untuk mengatasi angka
pengangguran yang cukup tinggi tersebut adalah dengan menumbuhkan wirausaha,
tetapi menyiapkan atau mencetak wirausaha bukan hal mudah dan tidak bisa dilakukan
secara instan. Untuk membangun karakter/mental kewirausahaan perlu
dukungan keluarga, lingkungan kondusif serta peran pemerintah.
Saat
ini jumlah pelaku wirausaha di Indonesia relatif rendah. Pelaku wiarausaha hanya sekitar 1,65% dari total penduduk. Angka tersebut
jauh dari Singapura yang mencapai 7% maupun Malaysia (5%) dan Thailand (3%). Seorang ahli sosiologi David McClelland menyatakan bahwa untuk menjadi negara yang
sejahtera, suatu negara harus memiliki wirausahawan minimal 2% dari total jumlah penduduk (dalam Putra dkk, 2015). Jumlah
tenaga kerja yang melimpah tak akan berkontribusi
terhadap bonus demografi
jika mereka
tidak dididik untuk
jadi cerdas, berdaya guna, dan kreatif. Revolusi Mental diperlukan untuk mencetak wirausaha, karena wirausaha
berkaitan dengan pola pikir, sifat
inovatif, pantang menyerah, dan mental yang tangguh seseorang.
Gotong royong
Gotong royong bukanlah sebuah kata yang asing untuk masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia secara kultural sangat akrab dengan kata gotong royong, bahkan
gotong royong dapat dikatakan sebagai salah satu ciri kharakter dari bangsa
Indonesia. Gotong royong berasal dari Bahasa
Jawa, gotong artinya pikul atau angkat, dan royong artinya bersama-sama. Jadi
kata gotong royong berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau dapat
dimaknai sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Misalnya: mengangkat
meja yang dilakukan bersama-sama, membersihkan selokan yang dilakukan oleh
warga se RT, dan sebagainya (Rochmadi, 2012). Gotong royong membuat pekerjaan menjadi lebih mudah
dan cepat untuk diselesaikan, menimbulkan rasa kebersamaan dan rasa kepemilikan
bersama yang ditimbulkan akibat adanya pengalaman pernah berkontribusi bagi
suatu kegiatan.
Pada tataran konseptual, gotong royong dapat berarti sebagai suatu model
kerjasama yang disepakati bersama. Koentjaraningrat (1983) dalam Rochmadi
(2012) membedakan gotong royong menjadi dua jenis yaitu; gotong royong tolong menolong dan
gotong royong kerja bakti. Kegiatan
gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan
sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa
bencana atau kematian. Sementara kegiatan
gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu
hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, yang dibedakan antara gotong royong
atas inisiatif warga dengan gotong royong yang dipaksakan. Konsep gotong royong
juga dapat dimaknai dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pranadji, 2009),
karena bisa menjadi modal sosial untuk membentuk kekuatan kelembagaan di
tingkat komunitas, masyarakat negara serta masyarakat lintas bangsa dan negara
Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan. Hal tersebut juga dikarenakan di
dalam gotong royong terkandung makna collective
action to struggle, self governing, common goal, dan sovereignty.
Seiring dengan perkembangan
zaman yang menjadi semakin modern dan semakin meluasnya
urbanisasi, mengakibatkan perubahan
sosial masyarakat Indonesia.
Kini, gotong royong warga ini
sudah mulai sulit
dijumpai kembali dalam kehidupan
sehari-hari. Akibat dari tingkat kesibukan pekerjaan dan juga tuntutan ekonomi
yang semakin meningkat, nilai gotong royong memudar dengan mempertimbangkan
untung ruginya dengan memperhitungkan upah dan materi. Diperkotaan misalnya
kehadiran seseorang untuk ikut ronda malam atau kerja bakti dapat digantikan
dengan membayarkan sejumlah uang yang diberikan kepada orang yang
menggantikannya. Hal ini terjadi terus
menerus sehingga pada akhirnya terbentuk suatu lahan pekerjaan baru yaitu
satuan keamanan atau kebersihan yang pada akhirnya memudarkan nilai gotong
royong itu sendiri.
Fungsi dari gotong royong tidak sekedar berbagi pekerjaan yang dapat
digantikan oleh materi atau uang. Gotong royong mencerminkan suatu
kebersamaan merupakan suatu acuan untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari
konflik dan juga memiliki aspek pemberdayaan masyarakat. Gotong royong memiliki
nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerjasama dan persatuan warga. Semakin
lunturnya keberadaan gotong royong tentunya akan dapat memicu terjadinya
perselisihan yang dapat berujung pada konflik karena berkurangnya nilai
kebersamaan. Sehingga sangatlah penting untuk menjaga gotong royong di tengah
masyarakat, terutama didalam masyarakat yang memiliki perbedaan. Sementara itu gotong royong dalam aspek pemberdayaan masyarakat diungkapkan
oleh Rochmadi (2012). Rochmadi menjelaskan bahwa dengan gotong royong berbagai
permasalahan kehidupan bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah,
demikian halnya dengan kegiatan pembangunan masyarakat. Implementasi gotong
royong memberdayakan masyarakan karena memiliki nilai kehidupan masyarakat yang
menerapkan kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian, dan mengacu kepada
kepentingan bersama.
Ditengah nilai gotong royong yang
semakin memudar disisi lain jumlah penduduk produktif yang besar namun tidak
maksimal terserap ke pasar kerja ditambah dengan tekanan ekonomi yang semakin
tinggi merupakan suatu kondisi lampu kuning yang bisa menjadi pemicu munculnya
krisis ekonomi, krisis politik dan krisis keamanan. Salah satu indikator yang dapat
menjadi acuan kondisi kesenjangan adalah Rasio Gini. Rasio Gini seperti yang
ditampilkan pada Gambar 9.2 menunjukkan tren yang terus meningkat, ini
menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan pendapatan yang terus menerus meningkat
dari tahun ke tahun. Kesenjangan merupakan suatu indikator yang ingin ditekan
angkanya karena kesenjangan yang tinggi dapat menyebabkan kondisi sosial yang
tidak kondusif karena dapat menimbulkan berbagai krisis di masyarakat, seperti
krisis ekonomi, krisis keamanan dan juga krisis politik. Kondisi tren Rasio
Gini yang terus meningkat memerlukan suatu langkah-langkah strategis pemerintah
untuk meredamnya baik dari sisi penguatan ekonomi, pemberantasan kemiskinan,
maupun dari sisi pemberdayaan masyarakat dengan menggali nilai-nilai luhur yang
ada dimasyarakat untuk dihidupkan kembali agar dampak-dampak negative dari
kondisi yang muncul dapat dihindari.
Gambar 9.2. Tren Rasio Gini Indonesia tahun 1980-2013
Sumber : World Bank, 2014
Gotong royong merupakan salah satu
nilai luhur karakter bangsa yang harus kembali dihidupkan mengingat kondisi
yang dihadapi Indonesia saat ini. Karena itu, mengembalikan nilai gotong royong dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi solusi yang harus kita lakukan saat
ini. Gotong
royong bukan sekedar membagi pekerjaan menjadi lebih mudah, tetapi mengandung
makna saling menghargai, menyayangi, mengedepankan diskusi untuk mendapatkan
solusi dan menurunkan ego individu. Gotong royong harus diterapkan dalam arti
yang lebih luas mencakup sosiologis, politis, sikap etis masyarakat maupun aspek ideologis bangsa.
Menghidupkan gotong royong bisa jadi
bukanlah pekerjaan yang mudah karena pasti akan menghadapi kendala-kendala yang
menghalangi penerapannya. Sulitnya koordinasi antar instansi pemerintah,
mudahnya perpecahan politik, tindakan anarkis dan memaksakan kehendak merupakan
suatu sikap yang harus dirubah secara cepat atau direvolusi. Untuk menerapkan gotong royong diperlukan
kedewasaan sikap, mempelajari akar masalah bersama dan berfikiran solutif bukan sekedar mencari siapa yang salah.
Perlunya komunikasi dan edukasi tentang sikap gotong royong harus dilakukan
secara intensif agar setiap komponen dalam masyarakat senantiasa bersedia
berpartisipatif secara aktif turut serta dalam setiap kegiatan gotong royong.
9.4. Revolusi
Mental, Peran BKKBN dan Pemanfaatan Bonus Demografi
Peran BKKBN dalam peningkatan SDM adalah melalui Program
KKBPK yang senantiasa diarahkan untuk mewujudkan Nawa Cita. Kepala BKKBN Surya
Chandra Surapaty dalam pidato sambutan tentang peningkatan Kapasitas SDM
Pengurus Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) di Medan 18 Januari 2016
menyebutkan bahwa:
BKKBN memiliki kontribusi dalam progam Nawa Cita terutama agenda prioritas ketiga, prioritas
kelima dan kedelapan. Agenda prioritas ketiga yaitu
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa-desa dalam kerangka
negara kesatuan; agenda prioritas kelima, yaitu meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia; serta agenda prioritas kedelapan, yaitu melakukan revolusi
karakter bangsa. Revolusi karakter bangsa tidak akan berjalan optimal tanpa
diawali dengan revolusi mental. Sekaitan dengan itu, maka dimensi pembangunan
manusia harus menjadi fokus perhatian kita bersama. Di sinilah Program KKBPK
memiliki peran yang amat strategis. Bekerja sama dengan seluruh mitra kerjanya,
BKKBN memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan revolusi mental berbasis
keluarga; mengawali revolusi mental dari keluarga.
Ini menunjukkan bahwa Revolusi Mental memiliki prioritas dalam rangka
pembangunan karakter bangsa yang terkait dengan soft skill SDM Indonesia. Hal
ini menjadi penting karena kinerja atau produktifitas seseorang ternyata tidak
hanya bergantung dari ketrampilan/keahlian dan kesehatan saja tetapi juga
bergantung pada soft skill. Soft skill merupakan
bagian penting dari kompetensi seseorang
untuk dapat “berhasil” dalam hidup seseorang, Illah (2007) memberikan
ilustrasi, soft skill yang kurang
ditandai dengan perilaku tidak tangguh, cepat bosan, bertabiat seperti
kutu loncat, tidak dapat bekerja sama, kurang jujur, tidak memiliki integritas
dan bahkan tidak memiliki rasa humor.
Pencanangan Revolusi Mental merupakan hal yang essensial mengingat saat
ini Indonesia sedang memiliki jumlah penduduk produktifitasnya melimpah. Mereka
adalah tenaga kerja yang siap berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan
keluarga dan menjalankan roda perekonomian negara ini. Pembangunan manusia sayangnya masih
diprioritaskan pada aspek akademik dan kesehatan, aspek peningkatan soft skill
atau karakter belum menjadi prioritas. Penekanan terhadap tiga nilai-nilai
strategis Revolusi Mental yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong
diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sehingga secara
personal setiap individu pekerja Indonesia dapat berhasil mencapai
kesuksesannya masing-masing dan juga secara nasional dapat memberikan
kontribusi keuntungan ekonomi untuk negara dengan memiliki kualitas penduduk
yang berkinerja dengan baik. Terlebih
lagi mulai tahun 2015 Indonesia memasuki periode Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
ini membuat kebutuhan kesiapan tenaga kerja Indonesia yang berkualitas baik
karena nilai kompetitif tenaga kerja
akan dilihat berdasarkan pendidikan,
kesehatan, hard skill dan soft skill pekerja.
9.5. Kesimpulan
dan Rekomendasi
Revolusi Mental memiliki peran penting terutama pada masa era bonus
demografi dan juga MEA yang saat ini sedang dialami oleh Indonesia. Revolusi
Mental memberikan penekanan tentang pentingnya pembangunan karakter nasional
penduduk Indonesia agar bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pembangungan
manusia tidak boleh hanya berfokus pada kesehatan, pendidikan tetapi juga pada
pembangunan karakter bangsa. Revolusi Mental berkaitan erat dengan peningkatan soft skill pekerja Indonesia sehingga
diharapkan gerakan ini dapat menunjang nilai kompetitif pekerja Indonesia dalam
persaingan pada pasar tenaga kerja di MEA. Revolusi Mental yang memiliki nilai-nilai
strategis integritas, etos kerja dan gotong royong, ketiganya merupakan suatu
simpul-simpul utama karakter karena didalamnya terkandung berbagai nilai
positif dalam peningkatan soft skill
SDM Indonesia. Suksesnya penerapan Revolusi Mental dapat menjadi kunci
keberhasilan pemerintah dalam memaksimalkan pemanfaatan bonus demografi.
BKKBN melalui program KKBPK memiliki peran yang cukup strategis dalam
ikut mensukseskan gerakan Revolusi Mental. Hal ini karena program-program BKKBN
berkaitan erat dengan keluarga, sehingga gerakan Revolusi Mental dapat
diinternalisasikan ke dalam nilai-nilai keluarga. Selain BKKBN diperlukan peran lintas sektor
untuk berkontribusi dalam penerapan gerakan Revolusi Mental sehingga
nilai-nilai strategis dapat terinternalisasi kedalam seluruh aspek kehidupan
setiap warga Indonesia.
Perlu dipahami bahwa pembangunan karakter mental bangsa tidak seperti
pemberian materi pendidikan atau keterampilan tertentu yang hanya membutuhkan
suatu waktu tertentu untuk menguasainya. Pembangunan karakter harus terus
menerus terjadi, ditemui dan dirasakan oleh setiap individu bangsa pada setiap
kesempatan secara konsisten. Ini membutuhkan keseriusan dan partisipasi semua
pihak dari mulai orangtua, guru, penegak hukum, aparat pemerintah, swasta,
tokoh masyarakat dan para pimpinan.
Keteladanan merupakan bagian integral dari pendidikan karakter. Revolusi
Mental memiliki nilai dan tujuan yang sangat mulia hendaknya juga harus
memperhatikan unsur keteladanan. Keteladanan terutama harus ditampilkan oleh
para pemimpin, karena jika pemimpin hanya menyarankan bawahannya melaksanakan
Revolusi Mental sementara para pemimpin berlaku beda dari ucapannya maka ini
akan membawa dampak yang tidak baik. Kewibawaan Revolusi Mental harus
benar-benar dijaga terutama oleh para pemimpin bangsa, karena jika tidak ini
hanya akan dianggap menjadi sebuah jargon politik yang akhirnya akan diabaikan
oleh masyarakat.
Daftar
Pustaka
Badan
Pusat Statistik. (2015a). Penduduk 15
Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2014*).
Tabel data online. Dapat dilihat pada link berikut http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970
Badan
Pusat Statistik. (2015b). Laporan Bulanan
Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik 2016. Diunduh pada tautan http://bps.go.id/website/pdf_publikasi/Laporan-Bulanan-Data-Sosial-Ekonomi-Januari-2016.pdf
Departemen
Pendidikan Nasional (2008). Pengembangan
Soft Skills Dalam Proses Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. Jakarta:
Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Diakses dari http://www.ditpsmk.net/.
Pengembangan Soft Skill dalam Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
Endrotomo.
2010. Implementasi Pembelajaran Student
Center Learning. Makalah disajikan
dalam Seminar dalam rangka Implementasi PHK-I di STIE Triatma Mulya Badung, 28
Januari
Illah
Sailah. 2008. Pengembangan Soft skills di
Perguruan Tinggi tahun 2008. Diunduh di http://isailah.50webs.com/BUKU PENGEMBANGAN SOFTSKILLS
2008.pdf
Krisnamurti,
Inggri. (2012). Pengaruh Etos Kerja
terhadap Produktivitas Pegawai Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan
Indramayu. Skripsi. Jurusan
Manajemen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas Widyatama. Bandung 2012.
Putra, B.A, Setiawan, I, & Dhaniarti,I.(2015). Based
Course Design: Enterpreneurship-A Case Study of Its Application in Human Resource
Planning and Development Course.
Materi presentasi pada ASAIHL 60th Anniversary International
Conference. 2-4 December 2015. Diunduh pada tautan http://asaihl.bbu.edu.kh/powerpoint/pdf/1.Bayu
AirlanggaPutra&IkhsanSetiawan.pdf
Pranadji,
Tri. 2009. “Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya
Bangsa”. Bogor. Jurnal Forum Penelitian
Agro Ekonomi, IPB. Volume 27 No. 1, Juli 2009
Republika.co.id.
(2015a). Produktivitas Tenaga Kerja
Indonesia Masih Kalah Dibanding Negara Lain. Artikel Online. Dapat dilihat
pada tautan berikut http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/25/nycpa5349-produktivitas-tenaga-kerja-indonesia-masih-kalah-dibanding-negara-lain
Republika.co.id.
(2015b). Persebaran Industri di
Indonesia. Artikel online. Dapat dilihat pada tautan berikut http://www.republika.co.id/berita/koran/financial/15/11/20/ny3yg72-persebaran-industri-di-indonesia
Rochmadi, N. (2012). Menjadikan Nilai Budaya Gotong-Royong
Sebagai Common Identity dalam Kehidupan Bertetangga Negara-Negara ASEAN. Artikel dosen. Repository
Perpustakaan Universitas Negeri Malang. 20/11/2012 . Diunduh dari tautan http://library.um.ac.id/images/stories/artikel_dosen/menjadikan%20gotong%20royong%20sebagai%20common%20identity%20-%20nurhadi.pdf
Sinarwati,
Ni Kadek. (2013). “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan Tri Kaya
Parisudha Untuk Meningkatkan Soft Skills
Mahasiswa”. Prosiding Simposium
Nasional Akuntansi Vokasi ke-2 167. Politeknik Negeri Bali, 17 – 18 Mei
2013
Sinamo, Jansen.(2005). Delapan Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses.
Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Surapaty,
S. Chandra (2016). Peningkatan Kapasitas SDM Pengurus Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera
(PPKS) di Medan 18 Januari 2016. Pidato sambutan Kepala BKKBN.
Transparancy
International Indonesia/TII.(2015). Corruption
Perception Index 2015 “Perbaiki Penegakkan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan
Publik. Materi Presentasi. Diunduh dari http://www.ti.or.id/index.php/publication/2015/09/15/survei-persepsi-korupsi-2015
Triatmanto.
2010. “Tantangan Impementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th.
XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY: 187203
World
Bank.(2014). Kesenjangan di Indonesia :
Tren, Penyebab, Kebijakan. Materi Presentasi. September 2014. Diunduh pada
tautan http://msc.feb.ugm.ac.id/msc-new/images/stories/berita/seminar%20kemiskinan/2.pdf